Oleh Mulkan Putra Sahada - 22 Januari 2019 357 kali telah dibaca
Dalam massive nya isu bonus demografi, terselip minimnya ketersediaan SDM yang kompeten bagi perusahaan. Keberlimpahan jumlah tenaga kerja tidak diimbangi dengan kapasitas yang dimiliki oleh calon pekerja.
Kapasitas apa yang perlu dimiliki?
Rupanya yang dibutuhkan bagi perusahaan tidak cukup hanya knowledge atau pemahaman terhadap rumpun ilmu. Melainkan juga cakap dalam bertindak di bidang tertentu.
Selain bisa melakukan dalam pekerjaan tertentu (kompetensi keahlian), si calon juga perlu memiliki attitude yang baik. Sebab attitude ini berkaitan dengan budaya kerja perusahaan. Relasi sosial antara atasan, bawahan maupun linear.
Bagi perguruan tinggi hanya menyelipkan knowledge. Sedangkan bagi praktisi, seringkali hanya pada sisi praktis lapangannya. Padahal, teori konsep dan kondisi real perlu selaras seiring berpadu.
Maka, bagi perguruan tinggi saat ini memiliki program magang bagi dosen dan mahasiswa nya. Biasanya, dosen nya dulu habis itu mahasiswa nya. Untuk apa? Agar apa yang diajar dan dipelajari di ruang kelas sesuai kebutuhan industri.
Begitu juga perusahaan, saat ini perusahaan membuat program yang namanya manajemen trainee. Kalau bahasa gampangnya, matrikulasi. Atau semacam pelajaran pra-utama. Sebelum si calon pekerja ini benar-benar bekerja, akan diminta buat melakukan seluruh pekerjaan di semua divisi. Baru kemudian dievaluasi, si calon ini cocoknya bekerja di bagian apa.
Sebagai upaya untuk menghadapi industri 4.0, saat ini sedang dikembangkan penyetaraan dunia pendidikan (baik kelompok pendidikan formal, vocational dan informal). Misalnya, S1 dalam pendidikan formal setara dengan D4 dalam vocational, dan dalam dunia informal dinamakan teknisi analis.
Jadi, jangan salah paham dulu. Bahwa IPK itu tidak penting. Penting, apabila bener-bener sesuai dengan bidang kerja kita. Apabila ingin jadi akademisi, peneliti, ya yang dikejar pendidikan formal. Sedangkan mau bekerja, ya pendidikan vokasional atau concern dalam pendidikan informal agar terus naik levelnya. Dan ketiganya, tetap memperhatikan perkembangan zaman.
Sebab, pendidikan formal yang dikenal usang karena text book yang diajar adalah materi ajar saat dosen itu kuliah. Dan diajarkan lagi, saat si dosen ngajar ke mahasiswa nya. Dan begitu juga mahasiswa nya, saat kelak si mahasiswa menjadi dosen, materi juga materi dari dosen nya itu. Meski tidak semua dosen dan perguruan tinggi, namun ini banyak terjadi. Atau contoh lain: masih lebih banyak populasi prodi ekonomi pembangunan daripada prodi e-commerce.
Begitu juga perusahaan. Saat ini yang sudah zamannya modern dengan isu human capital nya, namun si perusahaan masih menggunakan cara lama, seperti: mencari pekerja dengan sistem referral (rekomendasi dari yang kenal). Atau yang masih menghabiskan banyak kertas saat proses lamaran.
Baik industri maupun perguruan tinggi, tetap sama: harus sama-sama merespon zaman. Dunia hari adalah dunia kompetensi. Tidak perlu lagi menyalahkan banyaknya pekerja asing yang datang ke Indonesia, kalau misal dari warga aslinya belum kompeten. Terlepas, dari saya juga miris kalau diceritakan oleh beberapa HR yang: populasi WNI tidak begitu jauh dengan jumlah warga asing di perusahaan nya.
Kesimpulan nya, melek kompetensi keahlian harus mulai disadari, oleh: perusahaan si user tenaga kerja. Tenaga kerjanya yang nanti akan dipake di dunia kerja. Pendidikan yang menyuplai tenaga kerja. Dan juga, pemerintah selaku pihak pembuat kebijakan ketenagakerjaan.
Sumber
Foto: Tribunnews
Tulisan: https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10205736745053730&id=1708918546&ref=bookmarks (Facebook: Mulkan Putra Sahada)
Perlu akses login!
Bunga Isrovian Diawaranty
10 Oktober 2024
Sari Fatmawati
08 Juli 2023
Baskoro
10 Mei 2023
09 Mei 2023
Apakah anda yakin hapus komentar ini ?
Dengan membuat akun ini, Saya menyetujui Syarat dan Ketentuan dan Kebijakan Privasi dari LUNAS.
Silahkan Masukkan Akun Anda
Tidak punya akun ? Daftar Sekarang
Upgrade sekarang untuk dapat mengakses fitur lainnya!
Nanti Saja